
Sebut saja saya Mar, wanita berumur 18
th., telah menikah serta tengah hamil 8 bln.. Saya berani bercerita
kisahku sesudah Sam (60), bapak kandungku diamankan polisi lima bln.
lantas, sesudah pernah digebuki Mas Hamdi (25), suamiku.
Sebagai wanita yang tumbuh ditengah
keluarga miskin dilingkungan pesisir, aku terbiasa hidup dan kerja keras
membantu orangtuaku yang nelayan. Kampung kami di pulau L (Edited ***)
agak jauh dari kota dan seperti terisolir membuat tatanan kehidupan
bermasyarakat disana kurang terbuka, aku pun tumbuh menjadi gadis kurang
pergaulan.
Sejak berusia 11 tahun, ayah dan ibuku
bercerai. Ibu kawin lagi dengan lelaki idamannya membawa Fery, adikku.
Mereka pun tinggal di kota, dirumah barunya. Sejak itu pula aku hidup
bersama ayahku dirumah kami dikampung pesisir itu, karena Anto dan
Santi, kedua kakakku sudah merantau kepulau seberang.
Kehidupanku bersama ayah berjalan wajar.
Untuk makan sehari-hari, ayah masih sanggup mencari nafkah sebagai
nelayan, sedangkan aku turut membantu bibi berjualan dipasar. Hingga aku
menginjak usia 17 tahun, dan tumbuh menjadi gadis yang kata masyarakat
kampungku aku lumayan cantik. Diusia itu aku disunting Mas Hamdi, anak
lelaki bibiku.
“Kamu sudah dewasa nak, setelah menikah
nanti jadilah istri yang taat kepada suami. Ayah harap kamu tidak
seperti ibumu yang tergiur harta kekayaan lelaki lain sehingga kamu
menderita,” kata ayah setelah menerima pinangan bibi, orang tua Hamdi.
Pesta penikahan yang cukup mewah untuk
ukuran kami tak membuat aku bergembira karena pikiranku tertuju iba pada
ayahku yang nantinya akan sebatangkara kutinggalkan. Tapi aku pun
sangat mencintai Mas Hamdi, suamiku.
Dimalam pertama kami, aku benar-benar
bahagia bersama Mas Hamdi. Malam itulah kuserahkan semua yang kumiliki
padanya, sangat berkesan bagiku.
“Aku sayang kamu Mar..” Mas Hamdi mengecup keningku saat kami dipembaringan, usai pesta kawin kami malam itu.
“Aku juga Mas..” jawabanku tulus dan kami pun berpelukan erat.
“Aku juga Mas..” jawabanku tulus dan kami pun berpelukan erat.
Kecupan Mas Hamdi dikeningku terus turun
ke pipi, hidung, dan selanjutnya Mas Hamdi mengecup bibirku dan
mengulumnya dalam. Tangannya mulai melucuti kebaya putih yang kukenakan,
menyibak bra yang kupakai, lalu menyentuh puting susuku, meremas dan
mencubit kecil susuku.
“Aouhh Mass, geli Mas,” terus terang baru sekali itu aku dijamah lelaki, perasaanku bukan main takut bercampur enak.
Mas Hamdi tak peduli, bagaikan singa
lapar ia kemudian melucuti seluruh kain yang melilit tubuh bawahku dan
juga melepaskan seluruh pakaiannya.
“Tenang ya sayang, sakit sedikit kok.. nanti juga enak,” kata itu keluar dari bibir Mas Hamdi saat menindih tubuhku.
“Aahh mass, sakit sekali Mas,” aku agak menjerit saat benda tumpul milik Mas Hamdi mengoyak vaginaku.
“Aahh mass, sakit sekali Mas,” aku agak menjerit saat benda tumpul milik Mas Hamdi mengoyak vaginaku.
Malam pertama itu Mas Hamdi
menyetubuhiku dengan beringas, dan tak memberiku kesempatan untuk
mencapai klimaks yang nikmat. Tapi aku pikir mungkin itulah gaya seks
pria pesisir yang terbiasa hidup keras sebagai nelayan.
Meski aku bahagia hidup bersama suamiku,
namun rasa BHakti pada ayah tak pernah kusingkirkan. Walau kami hidup
beda rumah, dengan jarak 200 meter. Tetapi seringkali kubawakan ayah
makanan dan minuman, biasanya tiga hari sekali. Apalagi Mas Hamdi pun
menyuruhku untuk tetap memperhatikan ayahku yang mulai tua, dan jarang
melaut lagi. Tapi selama itu segela sesuatunya masih berjalan lancar.
Hingga suatu siang, empat bulan setelah
aku menikah, aku membawakan makanan dan minuman kerumah ayah yang
letaknya agak terpisah dari rumah lainnya dikampung kami. Saat itu aku
sudah hamil dua bulan.
“Ini yah, saya bawakan sayur dan ikan.
Ayah nggak usah masak lagi untuk nanti malam tinggal dihangatkan saja,”
kataku setiba dirumah ayah.
“Duh.. makasih ya sayang. Kamu ini benar-benar anak berBHakti,” kata ayah seraya menghampiri dan mengecup keningku.
“Duh.. makasih ya sayang. Kamu ini benar-benar anak berBHakti,” kata ayah seraya menghampiri dan mengecup keningku.
Kupikir kecupan itu pertanda sayang
seperti yang selama ini diperbuat padaku, kubiarkan saja itu dan
kemudian aku ke dapur untuk memindahkan makanan dari rantang yang kubawa
kepiring didapur. Ayah rupanya membuntutiku dan ikut kedapur, lalu
disaat tanganku sibuk menyusun piring dimeja makan, ayah memelukku dari
belakang.
“Kamu sudah hamil ya sayang,” tanya ayah sambil memeluk dan memegangi perutku dari belakang.
“Iya yah, sebentar lagi saya akan kasih ayah cucu,” jawabku membiarkan ayah tetap memelukku, karena kupikir ayah sangat menyayangiku.
“Kalau mulai hamil, perutmu harus sering diusap dan dipijit pelan supaya bayinya nggak turun,” ayah berkata itu sambil mengusap perutku dengan posisi tetap memelukku dari belakang.
Kubiarkan ayah melakukan itu sementara aku tetap sibuk memindahkan makanan untuk ayah.
“Si Hamdi sering mijitin kamu nggak sayang,” ayahku bertanya lagi.
“Uh ayah ini, Mas Hamdi kan kerja, pulangnya capek mana sempat mijitin saya. Bukannya saya sebagai istri yang harus mijitin dia?” kujawab ayah dan melepaskan pelukan ayah, lalu aku pindah keruangan depan.
“Iya yah, sebentar lagi saya akan kasih ayah cucu,” jawabku membiarkan ayah tetap memelukku, karena kupikir ayah sangat menyayangiku.
“Kalau mulai hamil, perutmu harus sering diusap dan dipijit pelan supaya bayinya nggak turun,” ayah berkata itu sambil mengusap perutku dengan posisi tetap memelukku dari belakang.
Kubiarkan ayah melakukan itu sementara aku tetap sibuk memindahkan makanan untuk ayah.
“Si Hamdi sering mijitin kamu nggak sayang,” ayahku bertanya lagi.
“Uh ayah ini, Mas Hamdi kan kerja, pulangnya capek mana sempat mijitin saya. Bukannya saya sebagai istri yang harus mijitin dia?” kujawab ayah dan melepaskan pelukan ayah, lalu aku pindah keruangan depan.
Siang itu, seperti biasanya sebelum
pulang aku sempatkan untuk ngobrol bersama ayahku. Selain menanyakan
kebutuhan apa saja yang harus kubawakan, aku juga kerab berkeluh kesah
tentang sikap mertuaku, ibu Mas Hamdi yang sampai saat itu belum bisa
kuakrabi sebagai menantu. Tapi siang itu ayah justru membicarakan
masalah kehamilanku, masalah perawatan janin diperutku, termasuk masalah
harus rajin diusap dan dipijat perutku.
“Nah.. suamimu kan nanti malam melaut,
kamu datang kemari saja supaya ayah bisa pijitin ya,” begitu pinta ayah
sebelum aku pulang.
Aku pun mengiyakan saja, soalnya
biasanya Mas Hamdi pulangnya agak siang setelah melaut. Lagipula,
dirumah mertua aku sering bingung mau melakukan apa, maklum mertuaku
belum sreg benar kepadaku kelihatannya.
Malam itu setelah Mas Hamdi pamit
melaut, aku langsung kerumah ayah. Tentu saja aku pamit ke mertua untuk
menengok ayah, kataku pada mereka, ayah sedang sakit. Waktu aku datang,
ayah sedang mendengarkan siaran radio sambil menghisap rokok tembakau
lintingan diruang tamu.
“Malam yah.. kok ngelamun sih?” sapaku sambil bergelayut dilengan ayahku.
“Iya sayang, ayah lagi ingat masa muda dulu,” ayahku tetap asyik dengan rokok lintingnya.
Dari bibirnya segera meluncur secuil perjalanan hidupnya yang sebenarnya sudah sering diceritakan pada kami, anak-anaknya.
“Tuh kan ayah jadi cerita, jadi nggak nih mijitin saya? katanya sayang sama cucu yang masih diperut ini?” aku merajuk menghentikan ceracau ayahku tentang hidupnya.
“Iya..iya, tapi sekarang kamu mandi dulu sana,” perintah ayahku.
“Iya sayang, ayah lagi ingat masa muda dulu,” ayahku tetap asyik dengan rokok lintingnya.
Dari bibirnya segera meluncur secuil perjalanan hidupnya yang sebenarnya sudah sering diceritakan pada kami, anak-anaknya.
“Tuh kan ayah jadi cerita, jadi nggak nih mijitin saya? katanya sayang sama cucu yang masih diperut ini?” aku merajuk menghentikan ceracau ayahku tentang hidupnya.
“Iya..iya, tapi sekarang kamu mandi dulu sana,” perintah ayahku.
Aku langsung mandi dan terus kekamar
ayahku. Saat itu seluruh pakaianku kutanggalkan dan hanya menggunakan
kain sarung milik ayah untuk menutup tubuhku. Biasanya dikampung ini,
melilit tubuh dengan sarung sudah jadi tradisi tiap wanitanya.
“Sekarang berbaring diranjang itu ya
sayang, ayah ambilkan minyak kepala dulu,” ayahku memandangi tubuhku
dengan senyuman, lalu meninggalkanku sendirian dikamar, aku pun
menunggunya sambil berbaring diranjang. Tak lama kemudian ayah datang
membawa sebotol kecil minyak kelapa.
“Memang susah anak muda sekarang, nggak perhatian sama istrinya,” ayahku bicara sendiri ketika duduk ditepi ranjang.
“Iya, untung saya masih punya ayah yang perhatian ya yah,” kataku.
“Memang susah anak muda sekarang, nggak perhatian sama istrinya,” ayahku bicara sendiri ketika duduk ditepi ranjang.
“Iya, untung saya masih punya ayah yang perhatian ya yah,” kataku.
Tangan ayah segera menyibak kain yang
kukenakan dibagian atas, sehingga susuku tanpa pembungkus bebas
terlihat. Tetapi aku sama sekali tak risih karena sejak kecil sampai
gadis pun aku sering dilihat mandi telanjang oleh ayah. Jemari ayah yang
kasar mulai mengusapi perutku dengan minyak kelapa, sesekali tangannya
memijit bagian perutku.
“Tuh kan? Posisi bayimu agak turun, kamu sering merasa sakit ya?” ayah bertanya sambil tangannya terus memijiti perutku.
“He-eh yah.., sering capek juga kakinya,” jawabku menikmati pijitan ayah.
“Ya sudah, nanti ayah pijitin seluruh badanmu ya,” ayah mengatakan itu, lalu pijitannya pindah kebetisku, pijatannya bergantian betis dan perut.
“He-eh yah.., sering capek juga kakinya,” jawabku menikmati pijitan ayah.
“Ya sudah, nanti ayah pijitin seluruh badanmu ya,” ayah mengatakan itu, lalu pijitannya pindah kebetisku, pijatannya bergantian betis dan perut.
Sambil dipijit, aku dan ayah tetap
ngobrol, mulai masalah harga ikan yang sedang turun, sampai masalah masa
lalu ayah dengan ibuku.
“Uhh.. sakit yah,” aku agak berteriak saat merasakan sakit dibagian perut saat tangan ayah memijit.
Ayah menghentikan pijitannya, tetapi tangannya tetap berada diatas perutku.
“Ini ya yang sakit Mar? Wah.. ini bisa bahaya, kalau dibiarkan nanti anakmu bisa cacat lho kalau lahir,” kata ayah dengan raut wajah serius.
“Cacat? Jadi gimana dong yah, Mar nggak mau punya anak cacat,” aku takut sekali waktu itu, takut menanggung malu jika kelak melahirkan anak yang tak normal.
Ayah tak langsung menjawab pertanyaanku, ia kelihatan sedang berpikir, tapi kemudian tersenyum.
“Bisa kok ayah obatin, tapi ayah harus siapin obatnya dulu ya,” ayah kemudian meninggalkanku sendirian dalam kamar. Tak lama ayah datang lagi dan membawa baskom plastik berisi air dan beberapa kembang kenanga.
Ayah menghentikan pijitannya, tetapi tangannya tetap berada diatas perutku.
“Ini ya yang sakit Mar? Wah.. ini bisa bahaya, kalau dibiarkan nanti anakmu bisa cacat lho kalau lahir,” kata ayah dengan raut wajah serius.
“Cacat? Jadi gimana dong yah, Mar nggak mau punya anak cacat,” aku takut sekali waktu itu, takut menanggung malu jika kelak melahirkan anak yang tak normal.
Ayah tak langsung menjawab pertanyaanku, ia kelihatan sedang berpikir, tapi kemudian tersenyum.
“Bisa kok ayah obatin, tapi ayah harus siapin obatnya dulu ya,” ayah kemudian meninggalkanku sendirian dalam kamar. Tak lama ayah datang lagi dan membawa baskom plastik berisi air dan beberapa kembang kenanga.
Ayah kemudian menjelaskan padaku bahwa ia akan mengobati kehamilanku dengan pengobatan tradisional.
“Tapi ayah harus masukan air kembang ini kedalam rahimmu sayang, kamu bisa tahan sakit sedikit kan?” ayah mengatakan itu dengan sangat meyakinkan.
“Tapi ayah harus masukan air kembang ini kedalam rahimmu sayang, kamu bisa tahan sakit sedikit kan?” ayah mengatakan itu dengan sangat meyakinkan.
Semula aku ragu, apalagi ayah bilang
kalau dia akan memasukan air kembang itu dengan cara menyemburkannya
divaginaku. Tetapi keraguanku pupus setelah ayah berkali-kali
meyakinkanku. Sampai sekarang pun aku tak tahu pasti apa kata ayahku itu
benar atau hanya sekedar akal bulusnya saja. Tetapi yang jelas, saat
itu aku menurut saja ketika ayah menyingkap sarung yang kukenakan
dibagian bawah dan meminta aku mengangkangkan kaki dalam posisi
terlipat, seperti posisi wanita yang hendak bersenggama dengan lelaki. Ayah sendiri naik keranjang dengan posisi
bersimpuh dihadapan kangkangan kakiku. Terus terang aku malu dan kikuk
menyadari betapa vaginaku terpampang jelas tanpa penghalang didepan mata
ayahku.
“Kamu tenang saja ya sayang, tidak lama
kok,” katanya, lalu meneguk air kembang dalam baskom dan menampung dalam
mulutnya yeng menggelembung.
Aku sangat penasaran apa yang akan
terjadi selanjutnya, apalagi saat kepala ayah mulai merunduk melewati
dua pahaku, mendekati vaginaku yang tak terbungkus CD. Beberapa detik
kemudian kurasakan dingin mejalar dipermukaan kemaluanku, rupanya ayah
sudah menyemburkan air dalam mulutnya tepat kevaginaku. Yang kurasakan
selain dinginnya air kembang, juga perasaan geli dibagian vitalku. Ayah
mengulangi lagi meneguk air itu dan menyemburkan ke vaginaku, beberapa
kali. Hal itu menimbulkan perasaan tak menentu padaku, geli, dingin
bercampur enak.
“Gimana Mar, sudah agak membaik rasa sakitnya?” ayah bertanya padaku.
Namun belum sempat kujawab tangan kanan ayah tiba-tiba membelai vaginaku.
“Sabar ya, ayah harus pastikan air kembang itu masuk sampai kerahimmu,” katanya, sambil tangannya terus mengusapi bibir vaginaku.
Namun belum sempat kujawab tangan kanan ayah tiba-tiba membelai vaginaku.
“Sabar ya, ayah harus pastikan air kembang itu masuk sampai kerahimmu,” katanya, sambil tangannya terus mengusapi bibir vaginaku.
Usapan tangan ayah divaginaku yang sudah
basah terkena air kembang membuat sensasi tersendiri kurasakan, aku pun
tak bisa berkata-kata lagi karena mendadak lemas seluruh sendi tubuhku.
“Uhh yahh.. sudah yah.., Mar nggak bisa tahan geliinya,” bibirku meminta ayah menghentikan aksi usapnya, tetapi kedua tanganku tak menahan tangan ayah yang aktif, tetapi tanganku justru meremasi sprei ranjang kanan dan kiri.
“Uhh yahh.. sudah yah.., Mar nggak bisa tahan geliinya,” bibirku meminta ayah menghentikan aksi usapnya, tetapi kedua tanganku tak menahan tangan ayah yang aktif, tetapi tanganku justru meremasi sprei ranjang kanan dan kiri.
“Disini ya sayang yang geli itu,” ayah bertanya sambil jempol kanannya
menekan klitorisku dan menguyak-nguyak benda sensitifku itu memutar
kecil.
“Nnnghh.. iya yah.. geli sekali disituhh,” nafasku mulai tersengal menahan geli yang nikmat dibawah usapan jempol ayah dibagian klitorisku.
“Nnnghh.. iya yah.. geli sekali disituhh,” nafasku mulai tersengal menahan geli yang nikmat dibawah usapan jempol ayah dibagian klitorisku.
Rasa gatal yang sangat kurasakan dipucuk-pucuk kedua susuku yang putingnya sudah mengembang pertanda birahi yang kualami.
Ayah meneruskan aktifitasnya mengusapi klitorisku dengan jempolnya,
usapan itu perlahan melemah dengan posisi jempol beranjak menjauh dari
klitorisku. Saat itu aku sudah sangat terangsang oleh ayah, pinggulku
kini yang naik mengejar jempol ayah agar tak meninggalkan klitorisku.
Aku menggelepar dengan napas sudah sangat tidak beraturan lagi,
pikiranku sudah melayang dan tak ingat lagi bahwa yang merangsangku
adalah ayahku sendiri. Tapi disaat aku sudah sangat terangsang seperti
itu, ayah justru menghentikan aktifitasnya di klitorisku. Pinggulku yang
tadinya sedikit mengangkat mencari jempol ayah langsung terjerembab
lagi, aku terpejam menahan gejolak yang berkecamuk ditubuhku.
“Auhh yahh, kenapa?” tanyaku agak
kecewa, tapi mendadak malu saat ayah menatapku, malu karena aku seperti
meminta hal yang lebih dari ayahku.
“Mar.. sepertinya air kembang itu tidak masuk benar dalam rahimmu. Ayah ulangi semburannya ya,” kata ayahku.
“Yah.. sudah saja ya, Mar.. nggak tahan gelinya,” pintaku, tapi anehnya tubuhku tetap berbaring seolah tak ingin menjauhi ayah.
“Mar.. sepertinya air kembang itu tidak masuk benar dalam rahimmu. Ayah ulangi semburannya ya,” kata ayahku.
“Yah.. sudah saja ya, Mar.. nggak tahan gelinya,” pintaku, tapi anehnya tubuhku tetap berbaring seolah tak ingin menjauhi ayah.
Ayah tak menjawab permintaanku dan
kembali meneguk air kembang lalu ditampung dimulutnya. Aku memejamkan
mata saat kepala ayah kembali tunduk mendekat ke pangkal pahaku. Aku
kembali merasakan dingin di permukaan vaginaku saat ayah mulai
menyemburkan air kembang, tapi kali ini lain, setelah semburan itu aku
merasa ada benda kenyal nan lembut menyapu permukaan
vaginaku. Kupikir itu jemari tangan ayah, tetapi tidak, itu bukan tangan, benda bertekstur lembut, hangat, dan kenyal itu adalah lidah ayah. Ya, ayah mengusapi tepatnya menjilati permukaan vaginaku dengan lidahnya.
vaginaku. Kupikir itu jemari tangan ayah, tetapi tidak, itu bukan tangan, benda bertekstur lembut, hangat, dan kenyal itu adalah lidah ayah. Ya, ayah mengusapi tepatnya menjilati permukaan vaginaku dengan lidahnya.
“Ihh.. mmpphh yaahh, aauhh hhsstt,” aku
tak kuasa menahan rasa nikmat dijilati ayah, terus terang sejak kawin
dengan Mas Hamdi belum pernah aku diperlakukan seperti itu. Mas Hamdi
selalu main langsung tembak, tanpa rangsangan lebih dulu sehingga selama
ini aku sendiri belum pernah merasakan apa yang disebut kenikmatan
orgasme. Jilatan ayah mulai meningkat, kini lidahnya justru sering
menelusup belahan bibir vaginaku yang mulai banjir. Cairan bening kental
dari vaginaku diseruput ayah seperti menyeruput kopi hangat dari
gelasnya.
“Ngghhsstt.. yah.. Mar nggak bisa tahnn.. ouhh..” aku mulai menggelinjang tak menentu rasanya.
Namun disaat aku mulai melambung tinggi,
ayah menghentikan lagi aktifitasnya di vaginaku, membuat aku
menggelepar menahan birahiku sendiri.
“Mar.. ayah agak sulit masukan air kembang itu kerahimmu. Tahan sebentar lagi ya,” katanya.
“Yah.. cepetan ya, Mar nggak kuat lagi, geli sekali yah,” aku merasa semakin lemas karena birahiku dipermainkan seperti itu.
“Mar.. ayah agak sulit masukan air kembang itu kerahimmu. Tahan sebentar lagi ya,” katanya.
“Yah.. cepetan ya, Mar nggak kuat lagi, geli sekali yah,” aku merasa semakin lemas karena birahiku dipermainkan seperti itu.
Saat itu aku berhayal seandainya Mas
Hamdi ada tentu dialah yang akan memuaskanku dengan penisnya, karena aku
merasa sudah siap betul dan ingin sekali untuk disetubuhi lelaki. Tapi
pikiran itu kutepis, karena bukankah ayah yang sedang mengobati
kandunganku? Aku tak berpikir bahwa ayah pun terangsang saat itu.
Tapi tak lama kemudian kurasakan nafas
ayah kembali mendekati vaginaku, setelah meneguk air kembang yang hampir
habis di baskom. Ayah tidak lagi menyemburkan air itu dengan berjarak
dari vaginaku, tetapi bibir ayah langsung menempel dibibir vaginaku dan
ia menyemburkan air itu. Kurasakan aliran air itu masuk hingga ke
dinding rahimku, rasanya sama seperti saat Mas Hamdi menumpahkan
spermanya ketika kami bersenggama. Setelah itu bibir ayah melumati bibir
vaginaku, lidahnya mulai masuk dibelahan vaginaku membuat nikmat yang
sangat dibagian sensitif itu, aku benar-benar kepayang dibuat ayah. Kini
jemari tangan ayah turut menyibaki vaginaku, membukanya lebar dan
lidahnya menyapu klitorisku dari atas kebawah dan sebaliknya dari bawah
keatas.
“Ouhh.. yah.. suddhh yaahh, Mar mau
kencingg rasanya ah..” seluruh sendiku terasa ngilu dan mengembang
bersama kedutan kecil didinding vaginaku, aku hampir sampai puncak
orgasmeku.
“Iya sayang, sudah selesai kok,” lagi-lagi ayah menghentikan aktifitasnya, tapi saat kubuka mata ternyata kali ini tubuh ayah sudah berada diatas tubuhku dengan bertopang pada dua tangannya.
“Yah.. kok ayah begitu? Ouhh yahh.. ahh,” belum habis kagetku karena ayah menindih, aku merasakan ada benda keras yang masuk ke vaginaku.
“Iya sayang, sudah selesai kok,” lagi-lagi ayah menghentikan aktifitasnya, tapi saat kubuka mata ternyata kali ini tubuh ayah sudah berada diatas tubuhku dengan bertopang pada dua tangannya.
“Yah.. kok ayah begitu? Ouhh yahh.. ahh,” belum habis kagetku karena ayah menindih, aku merasakan ada benda keras yang masuk ke vaginaku.
Ternyata ayah sudah melepaskan celananya
dan penisnya yang tegang dimasukan ke vaginaku. Aku hendak berontak
karena hal itu tabu dikampungku dan dimanapun, bukankah seorang ayah tak
boleh melakukan itu pada anak perempuannya. Perang bathin kualami saat
itu, aku ingin mendorong tubuh kekar ayahku tetapi aku sudah sangat
lemas saat itu. Sementara dorongan birahiku ingin segera terpuaskan
dengan senggama bersama lelaki.
“Oohhgg, Mar.. angap saja ayah Hamdi
Mar.. ouhh ayahh nggak tahhann,” ayah tetap menindihku dan kini
pinggulnya mulai naik turun diatas tubuhku membuat penisnya bebas keluar
masuk diliang nikmatku yang sudah licin dan becek oleh cairanku
sendiri.
“Nghhg.. aahsstt, yahh..” aku tak kuasa lagi menolak penis ayah yang mulai mengobati rasa gatal di vaginaku.
“Nghhg.. aahsstt, yahh..” aku tak kuasa lagi menolak penis ayah yang mulai mengobati rasa gatal di vaginaku.
Dengan mata terpejam aku malah ikut
menyambut goyangan ayah dengan goyangan pinggulku. Merasa aku tak
melawan, ayah pun semakin liar menyetubuhiku, anak kandungnya. Kini
sambil menggenjotku, bibir ayah menjelar menghisapi puting susuku,
sehingga senggama kami sempurna dan kenikmatan yang kurasakan pun
semakin tak tertara bila dibanding senggamaku bersama suami.
Sekalipun usia ayah sudah kepala enam,
tetapi kondisi fisiknya masih kuat dan kurasakan penisnya pun masih
normal dengan ukuran yang sedikit lebih besar dari punya Mas Hamdi.
“Yahh.. Marr mauu kencinghh yahh uuh..sstt,”
Sepuluh menit berlalu dalam senggama,
kurasakan kenikmatan mulai mengumpul di pangkal pahaku, bongkahan
pantatku, ujung-ujung jari kakiku, dan juga di liang nikmatku. Kedutan
semakin terasa didinding vaginaku, dan akhirnya kurasakan kejang
dibagian pinggul sampai kakiku, kakiku kemudian kugunakan untuk menjepit
pinggul ayah dan menekannya agar lebih dalam penisnya bersarang di
vaginaku. Tanganku memeluk tubuh berkeringat ayah, sementara kepalaku
terangkat dengan bibir menyedok kulit dada ayah. Dalam kondisiku yang
puncak itu, ayah masih menggejot penisnya beberapa kali sebelum akhirnya
ayaHPun mengejang dan mengerang diatas tubuhku.
ayaHPun mengejang dan mengerang diatas tubuhku.
“Ahhgg Mar.. ngghh,” ayah lalu lunglai
dan berbaring disampingku yang juga lemas tak bertenaga. Tulangku seakan
dicopoti saat itu, namun kuakui itulah kali pertama aku kepuncak
nikmatnya senggama.
Malam itu aku tidur bersama ayahku
dirumahnya, dan paginya kami seperti melupakan kejadian itu. Akupun
pulang kerumah mertua pagi harinya, dan bersikap seperti biasa saat Mas
Hamdi pulang melaut.
*****
Kejadian pertama bersama ayah, membuat
aku agak malu untuk datang kerumah ayah lagi. Sudah dua minggu ini aku
tidak menjenguk atau mengantarkan makanan untuk ayah. Entahlah, walau
sebenarnya aku tak keberatan disetubuhi nikmat oleh ayah, tetapi aku
malu kalau disangka ayah ingin mengulangi kenikmatan itu lagi.
Sore itu, sebelum Mas Hamdi melaut
seperti biasa ia meminta jatah dilayani kebutuhan biologisnya. Sebagai
istri kulayani suamiku semaksimal mungkin. Tapi seperti biasa juga, Mas
Hamdi hanya memikirkan kepuasannya saja, dan sudah mengejang
menyemprotkan air maninya sebelum aku merasa terangsang, apalagi
orgasme.
“Mhh, aku sayang kamu Mar..” Mas Hamdi
selalu mengatakan itu sambil mengecup keningku setiap kali usai
menikmati klimaks diatas tubuhku, lalu ia mengenakan kembali pakaiannya
dan meninggalkanku sendiri dikamar, ia pun melaut bersama
teman-temannya.
“Hati-hati Mas..,” hanya itu yang kuucapkan melepas pergi suamiku.
Aku tetap berbaring diranjang tanpa
mengenakan kembali pakaianku, rasa kecewa terhadap suamiku tumpah lewat
air bening yang meluncur ditepian mataku. Aku merasa tersiksa dua minggu
ini setiap kali berhubungan intim dengan suamiku, tersiksa karena tak
mendapatkan nikmat yang maksimal seperti yang kudapat dari ayahku.
Setelah suamiku menhilang dibalik pintu, aku bangkit dan mengunci
kembali pintu kamar. Kembali berbaring diranjang tanpa busana, aku
menghayalkan kenangan nikmat bersama ayah. Tak terasa tanganku mulai
meremasi payudara sendiri, sambil membayangkan ada lelaki yang sedang
mencumbuiku, aku pun menjelajahi bagian tubuh sensitifku sendiri. Malam
itu aku mencapai orgasmeku dengan masturbasi sambil menghayalkan ayahku,
lalu tertidur pulas.
Esoknya, pagi-pagi benar sebelum Mas
Hamdi pulang melaut, aku menyiapkan makanan untuk kubawa kerumah ayah.
Entahlah, aku ingin sekali kerumah ayah pagi itu.
“Eh kamu Mar.. ayah kira siapa,” kata ayah menyambut ketukan pintuku.
“Iya nih yah, bawakan ayah makanan,” aku menjawab tanpa mampu menatap mata ayah, aku malu dan jadi canggung pada ayahku sendiri.
“Iya nih yah, bawakan ayah makanan,” aku menjawab tanpa mampu menatap mata ayah, aku malu dan jadi canggung pada ayahku sendiri.
Ayah kemudian menyuruhku masuk, dan
seperti biasanya aku langsung kedapur untuk memindahkan makanan
dirantang yang kubawa kepiring di dapur rumah ayahku.
“Gimana sayang, sudah nggak sakit lagi
perutmu?” suara ayah menyapaku, dan aku agak terkejut ketika ayah
tiba-tiba sudah mendekap tubuhku dari belakang sambil tangannya
mengusapi perutku yang nampak sedikit membuncit dengan usia kehamilan 3
bulan.
“Eh ayah.. Mar sampai kaget. Kadang-kadang masih tuh yah, tapi agak membaik kok setelah dipijit ayah waktu itu,” aku bingung harus menjawab apa saat itu.
“Gimana kalau ayah pijit lagi? biar nggak sakit-sakitan perutmu itu,” nafas ayah tepat menghembusi tengkukku, membuat aku menahan geli dan merinding.
“Eh ayah.. Mar sampai kaget. Kadang-kadang masih tuh yah, tapi agak membaik kok setelah dipijit ayah waktu itu,” aku bingung harus menjawab apa saat itu.
“Gimana kalau ayah pijit lagi? biar nggak sakit-sakitan perutmu itu,” nafas ayah tepat menghembusi tengkukku, membuat aku menahan geli dan merinding.
Sebelum aku menjawab, tangan ayah
kurasakan membelai bongkahan pantatku dan mulai menyingkap naik bagian
bawah daster yang kupakai pagi itu.
“Enghh ayah.. jangan lagi ah,” aku
berusaha menepis tangan ayah dan kembali meneruskan kegiatanku merapikan
piring di meja dapur ayah. Tapi tangan ayah seperti tak mau pergi, dari
belakang itu ayah malah memasukan tangannya kebalik dasterku dan
mengusapi bongkahan pantatku, sesekali meremasinya.
“Ya sudah, kalau nggak mau dipijitin
dikamar, ayah pijitin disini saja ya. Kamu kan bisa sambil rapikan
piring itu,” ayah semakin berani menyusupkan tangannya kebalik CD ku,
sehingga kini tangan kasarnya mengusapi pantatku tanpa penghalang. Saat
tangan ayah langusng menyentuh kulit pantatku secara langsung, aku
merasakan desiran aneh yang kemudian memacu libidoku.
Kucoba menahan desiran itu dan tetap merapikan makanan diatas meja
dapur, tetapi aku tak lagi menepis aktifitas ayah, aku membiarkan ayah
berbuat semaunya.
“Asshtt yah.. janganhh geli yah,” aku menggelinjang saat bibir ayah mengecup tengkukku, tapi aku tak mampu menghindarinya.
“Kamu merunduk diatas meja ya sayang, tenang saja.. supaya perutmu cepat sembuh, ayah pijitin sambil berdiri ya,” ayah menekan bahuku dari belakang sehingga posisi tubuhku merunduk dengan kedua tangan menopang dibibir meja.
“Kamu merunduk diatas meja ya sayang, tenang saja.. supaya perutmu cepat sembuh, ayah pijitin sambil berdiri ya,” ayah menekan bahuku dari belakang sehingga posisi tubuhku merunduk dengan kedua tangan menopang dibibir meja.
Penasaran juga apa yang akan ayah
lakukan, aku pun tak bisa menjawab selain mengikuti perintah ayah itu.
Kini pekerjaan merapikan piring sudah tidak ada lagi, yang ada aku
merunduk pasrah di meja itu, menunggu apa yang akan ayah lakukan
selanjutnya.
Komentar
Posting Komentar