Mbak Lia kurang lebih baru 2 minggu
bekerja sebagai atasanku sebagai Accounting Manager. Sebagai atasan
baru, ia sering memanggilku ke ruang kerjanya untuk menjelaskan
overbudget yang terjadi pada bulan sebelumnya, atau untuk menjelaskan
laporan mingguan yang kubuat. Aku sendiri sudah termasuk staf senior. Tapi mungkin karena latar belakang pendidikanku tidak cukup mendukung,
management memutuskan merekrutnya. Ia berasal dari sebuah perusahaan
konsultan keuangan.
Usianya kutaksir sekitar 25 hingga 30
tahun. Sebagai atasan, sebelumnya kupanggil “Bu”, walau usiaku sendiri
10 tahun di atasnya. Tapi atas permintaanya sendiri, seminggu yang lalu,
ia mengatakan lebih suka bila di panggil “Mbak”. Sejak saat itu mulai
terbina suasana dan hubungan kerja yang hangat, tidak terlalu formal.
Terutama karena sikapnya yang ramah. Ia sering langsung menyebut namaku,
sesekali bila sedang bersama rekan kerja lainnya, ia menyebut “Pak”.
Dan tanpa kusadari pula, diam-diam aku
merasa betah dan nyaman bila memandang wajahnya yang cantik dan lembut
menawan. Ia memang menawan karena sepasang bola matanya sewaktu-waktu
dapat bernar-binar, atau menatap dengan tajam. Tapi di balik itu semua,
ternyata ia suka mendikte. Mungkin karena telah menduduki jabatan yang
cukup tinggi dalam usia yang relatif muda, kepercayaan dirinya pun cukup
tinggi untuk menyuruh seseorang melaksanakan apa yang diinginkannya.
Mbak Lia selalu berpakaian formal. Ia
selalu mengenakan blus dan rok hitam yang agak menggantung sedikit di
atas lutut. Bila sedang berada di ruang kerjanya, diam-diam aku pun
sering memandang lekukan pinggulnya ketika ia bangkit mengambil file
dari rak folder di belakangnya. Walau bagian bawah roknya lebar, tetapi
aku dapat melihat pinggul yang samar-samar tercetak dari baliknya.
Sangat menarik, tidak besar tetapi jelas bentuknya membongkah, memaksa
mata lelaki menerawang untuk mereka-reka keindahannya.
Di dalam ruang kerjanya yang besar,
persis di samping meja kerjanya, terdapat seperangkat sofa yang sering
dipergunakannya menerima tamu-tamu perusahaan. Sebagai Accounting
Manager, tentu selalu ada pembicaraan-pembicaraan ‘privacy’ yang lebih
nyaman dilakukan di ruang kerjanya daripada di ruang rapat.
Aku merasa beruntung bila dipanggil Mbak
Lia untuk membahas cash flow keuangan di kursi sofa itu. Aku selalu
duduk persis di depannya. Dan bila kami terlibat dalam pembicaraan yang
cukup serius, ia tidak menyadari roknya yang agak tersingkap. Di situlah
keberuntunganku. Aku dapat melirik sebagian kulit paha yang berwarna
gading. Kadang-kadang lututnya agak sedikit terbuka sehingga aku
berusaha untuk mengintip ujung pahanya. Tapi mataku selalu terbentur
dalam kegelapan. Andai saja roknya tersingkap lebih tinggi dan kedua
lututnya lebih terbuka, tentu akan dapat kupastikan apakah bulu-bulu
halus yang tumbuh di lengannya juga tumbuh di sepanjang paha hingga ke
pangkalnya. Bila kedua lututnya rapat kembali, lirikanku berpindah ke
betisnya. Betis yang indah dan bersih. Terawat. Ketika aku terlena
menatap kakinya, tiba-tiba aku dikejutkan oleh pertanyaan Mbak Lia..
“Jhony, aku merasa bahwa kau sering
melirik ke arah betisku. Apakah dugaanku salah?” Aku terdiam sejenak
sambil tersenyum untuk menyembunyikan jantungku yang tiba-tiba berdebar.
“Jhony, salahkah dugaanku?”
“Hmm.., ya, benar Mbak,” jawabku mengaku, jujur. Mbak Lia tersenyum sambil menatap mataku.
“Mengapa?”
“Jhony, salahkah dugaanku?”
“Hmm.., ya, benar Mbak,” jawabku mengaku, jujur. Mbak Lia tersenyum sambil menatap mataku.
“Mengapa?”
Aku membisu. Terasa sangat berat
menjawab pertanyaan sederhana itu. Tapi ketika menengadah menatap
wajahnya, kulihat bola matanya berbinar-binar menunggu jawabanku.
“Saya suka kaki Mbak. Suka betis Mbak. Indah. Dan..,” setelah menarik nafas panjang, kukatakan alasan sebenarnya.
“Saya juga sering menduga-duga, apakah kaki Mbak juga ditumbuhi bulu-bulu.”
“Persis seperti yang kuduga, kau pasti berkata jujur, apa adanya,” kata Mbak Tia sambil sedikit mendorong kursi rodanya.
“Agar kau tidak penasaran menduga-duga, bagaimana kalau kuberi kesempatan memeriksanya sendiri?”
“Sebuah kehormatan besar untukku,” jawabku sambil membungkukan kepala, sengaja sedikit bercanda untuk mencairkan pembicaraan yang kaku itu.
“Kompensasinya apa?”
“Sebagai rasa hormat dan tanda terima kasih, akan kuberikan sebuah ciuman.”
“Bagus, aku suka. Bagian mana yang akan kau cium?”
“Betis yang indah itu!”
“Hanya sebuah ciuman?”
“Seribu kali pun aku bersedia.”
“Saya juga sering menduga-duga, apakah kaki Mbak juga ditumbuhi bulu-bulu.”
“Persis seperti yang kuduga, kau pasti berkata jujur, apa adanya,” kata Mbak Tia sambil sedikit mendorong kursi rodanya.
“Agar kau tidak penasaran menduga-duga, bagaimana kalau kuberi kesempatan memeriksanya sendiri?”
“Sebuah kehormatan besar untukku,” jawabku sambil membungkukan kepala, sengaja sedikit bercanda untuk mencairkan pembicaraan yang kaku itu.
“Kompensasinya apa?”
“Sebagai rasa hormat dan tanda terima kasih, akan kuberikan sebuah ciuman.”
“Bagus, aku suka. Bagian mana yang akan kau cium?”
“Betis yang indah itu!”
“Hanya sebuah ciuman?”
“Seribu kali pun aku bersedia.”
Mbak Tia tersenyum manis dikulum. Ia berusaha manahan tawanya.
“Dan aku yang menentukan di bagian mana saja yang harus kau cium, OK?”
“Deal, my lady!”
“I like it!” kata Mbak Lia sambil bangkit dari sofa.
“Deal, my lady!”
“I like it!” kata Mbak Lia sambil bangkit dari sofa.
Ia melangkah ke mejanya lalu menarik
kursinya hingga ke luar dari kolong mejanya yang besar. Setelah
menghempaskan pinggulnya di atas kursi kursi kerjanya yang besar dan
empuk itu, Mbak Lia tersenyum. Matanya berbinar-binar seolah menaburkan
sejuta pesona birahi. Pesona yang membutuhkan sanjungan dan pujaan.
“Periksalah, Jhony. Berlutut di depanku!” Aku membisu. Terpana mendengar perintahnya.
“Kau tidak ingin memeriksanya, Jhony?” tanya Mbak Lia sambil sedikit merenggangkan kedua lututnya.
“Kau tidak ingin memeriksanya, Jhony?” tanya Mbak Lia sambil sedikit merenggangkan kedua lututnya.
Sejenak, aku berusaha meredakan
debar-debar jantungku. Aku belum pernah diperintah seperti itu. Apalagi
diperintah untuk berlutut oleh seorang wanita. Bibir Mbak Lia masih
tetap tersenyum ketika ia lebih merenggangkan kedua lututnya.
“Jhony, kau tahu warna apa yang
tersembunyi di pangkal pahaku?” Aku menggeleng lemah, seolah ada
kekuatan yang tiba-tiba merampas sendi-sendi di sekujur tubuhku.
Tatapanku terpaku ke dalam keremangan di
antara celah lutut Mbak Lia yang meregang. Akhirnya aku bangkit
menghampirinya, dan berlutut di depannya. Sebelah lututku menyentuh
karpet. Wajahku menengadah. Mbak Tia masih tersenyum. Telapak tangannya
mengusap pipiku beberapa kali, lalu berpindah ke rambutku, dan sedikit
menekan kepalaku agar menunduk ke arah kakinya.
“Ingin tahu warnanya?” Aku mengangguk tak berdaya.
“Kunci dulu pintu itu,” katanya sambil menunjuk pintu ruang kerjanya. Dan dengan patuh aku melaksanakan perintahnya, kemudian berlutut kembali di depannya.
“Kunci dulu pintu itu,” katanya sambil menunjuk pintu ruang kerjanya. Dan dengan patuh aku melaksanakan perintahnya, kemudian berlutut kembali di depannya.
Mbak Lia menopangkan kaki kanannya di
atas kaki kirinya. Gerakannya lambat seperti bermalas-malasan. Pada saat
itulah aku mendapat kesempatan memandang hingga ke pangkal pahanya. Dan
kali ini tatapanku terbentur pada secarik kain tipis berwarna putih.
Pasti ia memakai G-String, kataku dalam hati. Sebelum paha kanannya
benar-benar tertopang di atas paha kirinya, aku masih sempat melihat
bulu-bulu ikal yang menyembul dari sisi-sisi celana dalamnya. Segitiga
tipis yang hanya selebar kira-kira dua jari itu terlalu kecil untuk
menyembunyikan semua bulu yang mengitari pangkal pahanya. Bahkan sempat
kulirik bayangan lipatan bibir di balik segitiga tipis itu.
“Suka?” Aku mengangguk sambil mengangkat kaki kiri Mbak Lia ke atas lututku.
Ujung hak sepatunya terasa agak menusuk.
Kulepaskan klip tali sepatunya. Lalu aku menengadah. Sambil melepaskan
sepatu itu. Mbak Tia mengangguk. Tak ada komentar penolakan. Aku
menunduk kembali. Mengelus-elus pergelangan kakinya. Kakinya mulus tanpa
cacat. Ternyata betisnya yang berwarna gading itu mulus tanpa bulu
halus. Tapi di bagian atas lutut kulihat sedikit ditumbuhi bulu-bulu
halus yang agak kehitaman. Sangat kontras dengan warna kulitnya. Aku
terpana. Mungkinkah mulai dari atas lutut hingga.., hingga.. Aah, aku
menghembuskan nafas. Rongga dadaku mulai terasa sesak. Wajahku sangat
dekat dengan lututnya. Hembusan nafasku ternyata membuat bulu-bulu itu
meremang.
“Indah sekali,” kataku sambil mengelus-elus betisnya. Kenyal.
“Suka, Jhony?” Aku mengangguk.
“Tunjukkan bahwa kau suka. Tunjukkan bahwa betisku indah!”
“Suka, Jhony?” Aku mengangguk.
“Tunjukkan bahwa kau suka. Tunjukkan bahwa betisku indah!”
Aku mengangkat kaki Mbak Lia dari
lututku. Sambil tetap mengelus betisnya, kuluruskan kaki yang menekuk
itu. Aku sedikit membungkuk agar dapat mengecup pergelangan kakinya.
Pada kecupan yang kedua, aku menjulurkan lidah agar dapat mengecup
sambil menjilat, mencicipi kaki indah itu. Akibat kecupanku, Mbak Lia
menurunkan paha kanan dari paha kirinya. Dan tak sengaja, kembali mataku
terpesona melihat bagian dalam kanannya. Karena ingin melihat lebih
jelas, kugigit bagian bawah roknya lalu menggerakkan kepalaku ke arah
perutnya. Ketika melepaskan gigitanku, kudengar tawa tertahan, lalu
ujung jari-jari tangan Mbak Lia mengangkat daguku. Aku menengadah.
“Kurang jelas, Jhony?” Aku mengangguk.
Mbak Lia tersenyum nakal sambil
mengusap-usap rambutku. Lalu telapak tangannya menekan bagian belakang
kepalaku sehingga aku menunduk kembali. Di depan mataku kini terpampang
keindahan pahanya. Tak pernah aku melihat paha semulus dan seindah itu.
Bagian atas pahanya ditumbuhi bulu-bulu halus kehitaman. Bagian dalamnya
juga ditumbuhi tetapi tidak selebat bagian atasnya, dan warna kehitaman
itu agak memudar. Sangat kontras dengan pahanya yang berwarna gading.
Aku merinding. Karena ingin melihat paha
itu lebih utuh, kuangkat kaki kanannya lebih tinggi lagi sambil
mengecup bagian dalam lututnya. Dan paha itu semakin jelas. Menawan. Di
paha bagian belakang mulus tanpa bulu. Karena gemas, kukecup berulang
kali. Kecupan-kecupanku semakin lama semakin tinggi. Dan ketika hanya
berjarak kira-kira selebar telapak tangan dari pangkal pahanya,
kecupan-kecupanku berubah menjadi ciuman yang panas dan basah.
Sekarang hidungku sangat dekat dengan
segitiga yang menutupi pangkal pahanya. Karena sangat dekat, walau
tersembunyi, dengan jelas dapat kulihat bayangan bibir kewanitaannya.
Ada segaris kebasahan terselip membayang di bagian tengah segitiga itu.
Kebasahan yang dikelilingi rambut-rambut ikal yang menyelip dari kiri
kanan G-stringnya. Sambil menatap pesona di depan mataku, aku menarik
nafas dalam-dalam. Tercium aroma segar yang membuatku menjadi semakin
tak berdaya. Aroma yang memaksaku terperangkap di antara kedua belah
paha Mbak Lia. Ingin kusergap aroma itu dan menjilat kemulusannya.
Mbak Lia menghempaskan kepalanya ke sandaran kursi. Menarik nafas berulang kali. Sambil mengusap-usap rambutku, diangkatnya kaki kanannya sehingga roknya semakin tersingkap hingga tertahan di atas pangkal paha.
Mbak Lia menghempaskan kepalanya ke sandaran kursi. Menarik nafas berulang kali. Sambil mengusap-usap rambutku, diangkatnya kaki kanannya sehingga roknya semakin tersingkap hingga tertahan di atas pangkal paha.
“Suka Jhony?”
“Hmm.. Hmm..!” jawabku bergumam sambil memindahkan ciuman ke betis dan lutut kirinya.
“Hmm.. Hmm..!” jawabku bergumam sambil memindahkan ciuman ke betis dan lutut kirinya.
Lalu kuraih pergelangan kaki kanannya,
dan meletakkan telapaknya di pundakku. Kucium lipatan di belakang
lututnya. Mbak Lia menggelinjang sambil menarik rambutku dengan manja.
Lalu ketika ciuman-ciumanku merambat ke paha bagian dalam dan semakin
lama semakin mendekati pangkal pahanya, terasa tarikan di rambutku
semakin keras. Dan ketika bibirku mulai mengulum rambut-rambut ikal yang
menyembul dari balik G-stringnya, tiba-tiba Mbak Lia mendorong
kepalaku.
Aku tertegun. Menengadah. Kami saling
menatap. Tak lama kemudian, sambil tersenyum menggoda, Mbak Lia menarik
telapak kakinya dari pundakku. Ia lalu menekuk dan meletakkan telapak
kaki kanannya di permukaan kursi. Pose yang sangat memabukkan. Sebelah
kaki menekuk dan terbuka lebar di atas kursi, dan yang sebelah lagi
menjuntai ke karpet.
“Suka Jhony?”
“Hmm.. Hmm..!”
“Jawab!”
“Suka sekali!”
“Hmm.. Hmm..!”
“Jawab!”
“Suka sekali!”
Pemandangan itu tak lama. Tiba-tiba saja Mbak Tia merapatkan kedua pahanya sambil menarik rambutku.
“Nanti ada yang melihat bayangan kita dari balik kaca. Masuk ke dalam, Jhony,” katanya sambil menunjuk kolong mejanya.
Aku terkesima. Mbak Tia merenggut bagian
belakang kepalaku, dan menariknya perlahan. Aku tak berdaya. Tarikan
perlahan itu tak mampu kutolak. Lalu Mbak Lia tiba-tiba membuka ke dua
pahanya dan mendaratkan mulut dan hidungku di pangkal paha itu.
Kebasahan yang terselip di antara kedua bibir kewanitaan terlihat
semakin jelas. Semakin basah. Dan di situlah hidungku mendarat. Aku
menarik nafas untuk menghirup aroma yang sangat menyegarkan. Aroma yang
sedikit seperti daun pandan tetapi mampu membius saraf-saraf di rongga
kepala.
“Suka Jhony?”
“Hmm.. Hmm..!”
“Sekarang masuk ke dalam!” ulangnya sambil menunjuk kolong mejanya.
“Hmm.. Hmm..!”
“Sekarang masuk ke dalam!” ulangnya sambil menunjuk kolong mejanya.
Aku merangkak ke kolong mejanya. Aku
sudah tak dapat berpikir waras. Tak peduli dengan segala kegilaan yang
sedang terjadi. Tak peduli dengan etika, dengan norma-norma bercinta,
dengan sakral dalam percintaan. Aku hanya peduli dengan kedua belah paha
mulus yang akan menjepit leherku, jari-jari tangan lentik yang akan
menjambak rambutku, telapak tangan yang akan menekan bagian belakang
kepalaku, aroma semerbak yang akan menerobos hidung dan memenuhi rongga
dadaku, kelembutan dan kehangatan dua buah bibir kewanitaan yang
menjepit lidahku, dan tetes-tetes birahi dari bibir kewanitaan yang
harus kujilat berulang kali agar akhirnya dihadiahi segumpal lendir
orgasme yang sudah sangat ingin kucucipi.
Di kolong meja, Mbak Lia membuka kedua
belah pahanya lebar-lebar. Aku mengulurkan tangan untuk meraba celah
basah di antara pahanya. Tapi ia menepis tanganku.
“Hanya lidah, Jhony! OK?”
Aku mengangguk. Dan dengan cepat
membenamkan wajahku di G-string yang menutupi pangkal pahanya.
Menggosok-gosokkan hidungku sambil menghirup aroma pandan itu
sedalam-dalamnya. Mbak Lia terkejut sejenak, lalu ia tertawa manja
sambil mengusap-usap rambutku.
“Rupanya kau sudah tidak sabar ya, Jhony?” katanya sambil melingkarkan pahanya di leherku.
“Hm..!”
“Haus?”
“Hm!”
“Jawab, Jhony!” katanya sambil menyelipkan tangannya untuk mengangkat daguku. Aku menengadah.
“Haus!” jawabku singkat.
“Hm..!”
“Haus?”
“Hm!”
“Jawab, Jhony!” katanya sambil menyelipkan tangannya untuk mengangkat daguku. Aku menengadah.
“Haus!” jawabku singkat.
Tangan Mbak Lia bergerak melepaskan tali
G-string yang terikat di kiri dan kanan pinggulnya. Aku terpana menatap
keindahan dua buah bibir berwarna merah yang basah mengkilap. Sepasang
bibir yang di bagian atasnya dihiasi tonjolan daging pembungkus clit
yang berwarna pink. Aku termangu menatap keindahan yang terpampang
persis di depan mataku.
“Jangan diam saja. Jhony!” kata Mbak Lia sambil menekan bagian belakang kepalaku.
“Hirup aromanya!” sambungnya sambil menekan kepalaku sehingga hidungku terselip di antara bibir kewanitaannya.
“Hirup aromanya!” sambungnya sambil menekan kepalaku sehingga hidungku terselip di antara bibir kewanitaannya.
Pahanya menjepit leherku sehingga aku
tak dapat bergerak. Bibirku terjepit dan tertekan di antara dubur dan
bagian bawah vaginanya. Karena harus bernafas, aku tak mempunyai pilihan
kecuali menghirup udara dari celah bibir kewanitaannya. Hanya sedikit
udara yang dapat kuhirup, sesak tetapi menyenangkan. Aku menghunjamkan
hidungku lebih dalam lagi. Mbak Lia terpekik. Pinggulnya diangkat dan
digosok-gosokkannya dengan liar hingga hidungku basah berlumuran
tetes-tetes birahi yang mulai mengalir dari sumbernya. Aku mendengus.
Mbak Lia menggelinjang dan kembali mengangkat pinggulnya. Kuhirup aroma
kewanitaannya dalam-dalam, seolah vaginanya adalah nafas kehidupannku.
“Fantastis!” kata Mbak Lia sambil
mendorong kepalaku dengan lembut. Aku menengadah. Ia tersenyum menatap
hidungku yang telah licin dan basah.
“Enak ‘kan?” sambungnya sambil membelai ujung hidungku.
“Segar!” Mbak Lia tertawa kecil.
“Kau pandai memanjakanku, Jhony. Sekarang, kecup, jilat, dan hisap sepuas-puasmu. Tunjukkan bahwa kau memuja ini,” katanya sambil menyibakkan rambut-rambut ikal yang sebagian menutupi bibir kewanitaannya.
“Jilat dan hisap dengan rakus. Tunjukkan bahwa kau memujanya. Tunjukkan rasa hausmu! Jangan ada setetes pun yang tersisa! Tunjukkan dengan rakus seolah ini adalah kesempatan pertama dan yang terakhir bagimu!”
“Enak ‘kan?” sambungnya sambil membelai ujung hidungku.
“Segar!” Mbak Lia tertawa kecil.
“Kau pandai memanjakanku, Jhony. Sekarang, kecup, jilat, dan hisap sepuas-puasmu. Tunjukkan bahwa kau memuja ini,” katanya sambil menyibakkan rambut-rambut ikal yang sebagian menutupi bibir kewanitaannya.
“Jilat dan hisap dengan rakus. Tunjukkan bahwa kau memujanya. Tunjukkan rasa hausmu! Jangan ada setetes pun yang tersisa! Tunjukkan dengan rakus seolah ini adalah kesempatan pertama dan yang terakhir bagimu!”
Aku terpengaruh dengan kata-katanya. Aku
tak peduli walaupun ada nada perintah di setiap kalimat yang
diucapkannya. Aku memang merasa sangat lapar dan haus untuk mereguk
kelembutan dan kehangatan vaginanya. Kerongkonganku terasa panas dan
kering. Aku merasa benar-benar haus dan ingin segera mendapatkan
segumpal lendir yang akan dihadiahkannya untuk membasahi
kerongkongannku. Lalu bibir kewanitaannya kukulum dan kuhisap agar semua
kebasahan yang melekat di situ mengalir ke kerongkonganku. Kedua bibir
kewanitaannya kuhisap-hisap bergantian.
Kepala Mbak Lia terkulai di sandaran
kursinya. Kaki kanannya melingkar menjepit leherku. Telapak kaki kirinya
menginjak bahuku. Pinggulnya terangkat dan terhempas di kursi berulang
kali. Sesekali pinggul itu berputar mengejar lidahku yang bergerak liar
di dinding kewanitaannya. Ia merintih setiap kali lidahku menjilat
clitnya. Nafasnya mengebu. Kadang-kadang ia memekik sambil menjambak
rambutku.
“Ooh, ooh, Jhony! Jhony!” Dan ketika
clitnya kujepit di antara bibirku, lalu kuhisap dan permainkan dengan
ujung lidahku, Mbak Lia merintih menyebut-nyebut namaku..
“Jhony, nikmat sekali sayang.. Jhony! Ooh.. Jhony!”
“Jhony, nikmat sekali sayang.. Jhony! Ooh.. Jhony!”
Ia menjadi liar. Telapak kakinya
menghentak-hentak di bahu dan kepalaku. Paha kanannya sudah tidak
melilit leherku. Kaki itu sekarang diangkat dan tertekuk di kursinya.
Mengangkang. Telapaknya menginjak kursi. Sebagai gantinya, kedua tangan
Mbak Lia menjambak rambutku. Menekan dan menggerak-gerakkan kepalaku
sekehendak hatinya.
“Jhony, julurkan lidahmuu! Hisap! Hisaap!”
Aku menjulurkan lidah sedalam-dalamnya.
Membenamkan wajahku di vaginanya. Dan mulai kurasakan kedutan-kedutan di
bibir vaginanya, kedutan yang menghisap lidahku, mengundang agar masuk
lebih dalam. Beberapa detik kemudian, lendir mulai terasa di ujung
lidahku. Kuhisap seluruh vaginanya. Aku tak ingin ada setetes pun yang
terbuang. Inilah hadiah yang kutunggu-tunggu. Hadiah yang dapat
menyejukkan kerongkonganku yang kering. Kedua bibirku kubenamkan
sedalam-dalamnya agar dapat langsung menghisap dari bibir vaginanya yang
mungil.
“Jhony! Hisap Jhony!”
Aku tak tahu apakah rintihan Mbak Lia
dapat terdengar dari luar ruang kerjanya. Seandainya rintihan itu
terdengar pun, aku tak peduli. Aku hanya peduli dengan lendir yang dapat
kuhisap dan kutelan. Lendir yang hanya segumpal kecil, hangat, kecut,
yang mengalir membasahi kerongkonganku. Lendir yang langsung ditumpahkan
dari vagina Mbak Lia, dari pinggul yang terangkat agar lidahku
terhunjam dalam.
“Oh, fantastis,” gumam Mbak Lia sambil menghenyakkan kembali pinggulnya ke atas kursinya.
Ia menunduk dan mengusap-usap kedua
belah pipiku. Tak lama kemudian, jari tangannya menengadahkan daguku.
Sejenak aku berhenti menjilat-jilat sisa-sisa cairan di permukaan
kewanitaannya.
“Aku puas sekali, Jhony,” katanya. Kami
saling menatap. Matanya berbinar-binar. Sayu. Ada kelembutan yang
memancar dari bola matanya yang menatap sendu.
“Jhony.”
“Hm..”
“Tatap mataku, Jhony.” Aku menatap bola matanya.
“Jilat cairan yang tersisa sampai bersih”
“Hm..” jawabku sambil mulai menjilati vaginanya.
“Jangan menunduk, Jhony. Jilat sambil menatap mataku. Aku ingin melihat erotisme di bola matamu ketika menjilat-jilat vaginaku.”
“Jhony.”
“Hm..”
“Tatap mataku, Jhony.” Aku menatap bola matanya.
“Jilat cairan yang tersisa sampai bersih”
“Hm..” jawabku sambil mulai menjilati vaginanya.
“Jangan menunduk, Jhony. Jilat sambil menatap mataku. Aku ingin melihat erotisme di bola matamu ketika menjilat-jilat vaginaku.”
Aku menengadah untuk menatap matanya.
Sambil melingkarkan kedua lenganku di pinggulnya, aku mulai menjilat dan
menghisap kembali cairan lendir yang tersisa di lipatan-lipatan bibir
kewanitaannya.
“Kau memujaku, Jhony?”
“Ya, aku memuja betismu, pahamu, dan di atas segalanya, yang ini.., muuah!” jawabku sambil mencium kewanitaannya dengan mesra sepenuh hati.
“Ya, aku memuja betismu, pahamu, dan di atas segalanya, yang ini.., muuah!” jawabku sambil mencium kewanitaannya dengan mesra sepenuh hati.
Mbak Lia tersenyum manja sambil mengusap-usap rambutku.
Komentar
Posting Komentar